Minggu, 31 Oktober 2010

Revitalisasi Lahan Pertanian Untuk Mengurangi Laju Alih Fungsi Lahan

Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi perekonomian suatu negara. Di Indonesia yang merupakan negara Agraris dimana hampir seluruh penduduk bermata pencaharian sebagai petani, sektor pertanian memberikan harapan besar dalam pembangunan bangsa. Bahkan pada masa krisis global yang hampir mengguncang hampir seluruh negara di dunia, sektor pertanian masih “ tegap berdiri “ menunjukkan pertumbuhan yang positif.
     Namun sangat ironis, di tengah harapan besar tersebut permasalahan alih fungsi lahan pertanian (agricultural land conversion) menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sektor pertanian kita. Dalam hal ini, revitalisasi kembali lahan pertanian sangat diperlukan untuk menghambat laju alih fungsi lahan pertanian yang semakin lama semakin mengancam. Revitalisasi lahan pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti pentingnya lahan pertanian dengan memberdayakan kemampuan dan produktifitasnya (sesuai proporsi dan konteksnya) untuk memajukan sektor pertanian dalam pembangunan nasional.
     Alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali merupakan ancaman bagi kapasitas penyediaan pangan nasional, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Bagaimana tidak,  pangan selama ini memegang peranan yang sangat penting bagi ketahanan nasional sehingga menjaga kestabilan di sektor-sektor lain.
     Pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat telah menetapkan program pembangunannya yang dikenal dengan strategi 3 jalur (triple tracle strategy), dimana salah satu langkah strateginya adalah revitalisasi sektor pertanian (lahan pertanian). Selain itu sejumlah peraturan dan perundang-undangan telah dibuat untuk mengatasi permasalahan kompleks sektor pertanian ini. Namun semuanya seakan-akan mandul dalam pengendalian alih fungsi lahan. Peninjauan kembali serta evaluasi terhadap strategi kebijakan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu dilakukan untuk mengetahui efektitasnya di lapangan. Menurut Winoto (2005), jika RTRW yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar) hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya dan sisanya yaitu 3,1 juta hektar (42,4%) terus beralih fungsi kepenggunaan lain. Dan kemungkinan belum ditambah jenis penggunaan lahan pertanian lain yang belum diketahui nasibnya dan tersebar di seluruh nusantara.
     Banyak dijumpai alih fungsi lahan pertanian disebabkan karena pertanian yang mempunyai multifungsi yang belum mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat. Masih kurangnya perhatian pemerintah dan program-program yang tidak tepat sasaran membuat banyak petani kecil di daerah-daerah selama ini  seolah dianaktirikan. Hal ini membuat petani kurang bersemangat mengelola lahan pertaniannya dan memilih mengalihfungsikan lahan mereka yang sebetulnya masih sangat potensial menjadi sia-sia.
     Komitmen dan kerjasama seluruh pihak yang terlibat (stake holder) perlu digalang kembali dan merubah paradigma masyarakat melihat pertanian tidak hanya bercocok tanam yang hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi semata, melainkan sebagai komoditas yang sangat menjanjikan bagi pelakunya. Selain diperlukan partisipasi segenap pemangku kepentingan (stake holder) termasuk masyarakat, kesadaran akan hukum, yang harus diperhatikan juga adalah sasaran (goal). Program-program yang tepat sasaran akan sangat membantu dan berarti bagi petani-petani kecil di daerah dan paling tidak mereka terus berpikir untuk menggarap lahan pertanian mereka.
     Keberlanjutan nasib pertanian ke depan hendaknya menjadi pemikiran kita bersama. Untuk itu diperlukan kerjasama dan perhatian dari semua pihak. Dengan begitu harapannya bukan hanya lahan-lahan  pertanian potensial dan pelaku sektor pertanian yang terselamatkan, namun juga seluruh rakyat ikut merasakan dampak positif dari majunya pertanian Indonesia.(IP)